Blogger templates

Jumat, 28 Agustus 2015

KARAKTERISASI KUALITAS BATUBARA


KARAKTERISASI KUALITAS BATUBARA
Batubara mempunyai karakteristik masing2 tergantung geografi,ada yang cenderung basah seperti kebanyakan pertambangan di sumatra ada juga yang kering seperti dikalimantan ,Ketentuan-ketentuan (clauses) yang paling sering dimasukkan dalam kontrak penjualan batubara (coal sales contract) secara internasional meliputi sebagai berikut :
-          jenis batubara (coal brand),
-          spesifikasi batubara (coal specification),
-          masa kontrak (contract period),
-          jadwal pemasokan jumlah tonase batubara (tonnage supply schedule),
-          harga dasar (basic price),
-          kenaikan harga (escalation),
-          hadiah/denda (bonus/penalty),
-          pembayaran (payment),
-          fluktuasi mata uang dan nilai tukar (currency and exchange fluctuations),
-          pengambilan contoh dan analisa (sampling and analysis),
-          penentuan berat (weight determination),
-          harta milik dan resiko (property and risk),
-          peraturan dan pembatasan/larangan dari pemerintah (governmental restrictions and regulations),
-          tak terduga (force majeure),
-          peleraian (arbitration),
-          kesukaran/penderitaan (hardship) karena ada kecurangan terhadap salah satu pihak,
-          persyaratan pelabuhan untuk pemuatan dan pengapalan untuk penjualan berdasarkan F.O.B.T (shipping and loading port conditions); dan atau persyaratan pelabuhan untuk pembongkaran (discharge port conditions) untuk penjualan menurut C&F,
-          telegram untuk berlayar (sailing cable).
Dari daftar urutan ketentuan diatas, karakteristik kualitas atau spesifikasi batubara, merupakan urutan pertama yang harus dipenuhi terlebih dahulu dimana karakterisasi kualitas batubara dilakukan dengan analisa dan pengujian batubara. Karena pasokan batubara sebagai sumber energi panas memainkan peranan yang sangat penting sekarang ini, terutama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar Batubara (PLTU-B), maka spesikasi batubara biasanya ditentukan dengan analisa kimia dan pengujian yang meliputi parameter-parameter antara lain sebagai berikut :
  1. Total Moisture (TM), % a.r
  2. Analisa Proksimat yang terdiri dari komponen-komponen : Air-lembab bawaan (Inherent Moisture = IM), Abu (Ash = A), Zat-terbang (Volatile Matter = VM), dan Karbon-tertambat (Fixed Carbon = FC).
  3. Analisa Ultimat  yang terdiri dari unsur-unsur utama : C, H, O, N, S.
  4. Belerang Total (Total Sulphur).
  5. Nilai Kalori (Calorific Value = CV).
  6. Kadar dan Analisa Komposisi Kimia Abu 
  7. Suhu Leleh Abu
  8. Indek Ketergerusan Hardgrove (Hardgrove Grindability Hardgrove = HGI).
  9. Pengayakan (screening).
http://industriindonesia.com/
1. Analisa  batubara
           
a. Analisa Proksimat
            Metode dasar untuk analisa proksimat diberikan oleh Standar ASTM D 3172 yang dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
Mengingat akan fakta bahwa batubara adalah suatu campuran heterogen dari senyawa-senyawa organik berupa senyawa organik ringan (zat-terbang = Volatile Matter = VM)(yang terdiri dari gas-gas dan uap yang dikeluarkan apabila batubara dipanaskan tanpa kontak dengan oksigen dari udara sampai suhu tertentu (900 + 25oC) selama 7 menit dan bahan organik tidak terbang (non-volatile)(karbon-tertambat = fixed carbon = FC)(residu karbon padatan yang terbakar pada suhu yang lebih tinggi setelah VM dikeluarkan) bersama dengan sejumlah tertentu bahan anorganik sebagai pengotor (impurities/diluents) berupa air yang disebut air-lembab (moisture = M) yang ditentukan pada suhu 105 + 5oC dan mineral yang disebut abu (ash = A){(berupa bahan tidak reaktif lagi (inert material) yang dihasilkan apabila batubara dibakar sempurna)}pada suhu 800 oC. Karena itu, ke-empat komponen pembentuk batubara ini (% IM + % A + % VM + % FC = 100%) dapat ditentukan dengan analisa proksimat dimana VM dan FC adalah komponen/bahan aktif yang menghasilkan energi panas apabila batubara dibakar, sedangkan M dan A adalah komponen yang tidak reaktif yang merintangi proses emisi energi panas apabila batubara dibakar.
b. Total Moisture (TM).
Kadar TM ditentukan pada kondisi seperti diterima (as received) yang merupakan parameter yang penting dalam membuat faktur (invoicing) pengiriman batubara. Seperti diketahui bahwa air lembab atau lengas (moisture) dianggap sebagai salah satu pengotor (impurity atau diluent) yang sama halnya seperti abu (ash) dalam batubara  yaitu merupakan komponen-komponen pembentuk batubara yang tidak dapat terbakar (being incombustible) sehingga dapat menurunkan nilai komersialnya berupa parameter nilai kalori (calorific value = CV). Karena itu, pengaruhnya terhadap kualitas batubara harus dikontrol secara ketat supaya dapat dijual (saleable coal) sebagai akibat dari kadarnya yang telah memenuhi persyaratan atau spesifikasi batubara yang diminta oleh pasar atau konsumer.  Kadar Total Moisture (Lengas Total)(=TM) batubara yang merupakan jumlah dari kadar lengas bebas (unbound surface or free moisture = FM) dan kadar lengas bawaan (inherent moisture = IM) selalu dilaporkan dalam kondisi seperti diterima (as received = ar). Dengan kata lain, TM = IM  +  FM. Contoh batubara biasanya diambil sejak dari tahap eksplorasi batubara, tahap penambangan dan tahap pengolahan sampai ke tahap penimbunan (stockpiling) sebelum dikirim ke tempat konsumer/pasar.      
            Dalam hal ini, karena lengas bawaan (IM) yang tidak sensitif terhadap atmosfir dapat dianggap konstan (tetap atau tidak berubah), maka yang dapat berubah-rubah adalah hanya lengas bebas (FM) yang kadarnya tergantung pada :
-. berbagai kondisi pembasahan (wetting) karena adanya penyerapan air (absorption) dan pengeringan air (drying) (desorption) yang disebabkan oleh iklim atau cuaca lokal yang terjadi selama batubara tersebut tersingkap/terbuka (exposed) dengan udara terbuka (atmosfir) selama penambangan (mining), pengolahan (beneficiation), pengangkutan (transportation), penanganan (handling), atau penimbunan/penyimpanan (stockpiling/storage).
-. distribusi ukuran partikel/fragment batubara dimana batubara halus (fine coal) dapat menyerap dan menahan lebih banyak air dari pada batubara bongkah (lump coal).
c. Analisa Ultimat
Karena batubara dikomposisikan oleh campuran komplek dari komponen bahan organik yang berasal dari sisa tumbuh-tumbuhan pembentuk batubara yang diwakili oleh kayu (wood)(Gambar 1) dan komponen bahan anorganik yang ditemui sebagai kation-kation dan mineral, maka analisa ultimat (ASTM D 3176) digunakan untuk menentukan komponen organik berupa senyawa kimia yaitu C, H, O, N, S. Disamping itu, komponen bahan anorganik, yang sebagian besar terdiri dari mineral dan berubah menjadi abu sisa pembakaran batubara yang terdiri dari unsur utama (major elements), seperti Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K, Ti, Sr dan unsur-unsur anorganik dengan kadar yang sangat rendah yakni sekitar kurang dari 0,02 % yang disebut unsur runutan (trace elements), seperti As, Sb, Hg, Cd, Zn, Se, U, V, Pb, Be dan Tl.
Gambar 1. Skema proses pembentukan batubara
            Mineral-mineral utama dalam batubara (major coal minerals) diklasifikasikan sebagai : tanah liat (clays), korbonat (carbonates), sulfida (sulfides), oksida (oxides), klorida (chlorides), dan sulfat (sulfates). Lapisan tanah liat berupa campuran dari kaolinite, illite, montmorillonite, dan illite-montmorillonite adalah mineral-mineral tanah liat yang dominan. Karbonat utama yang ada dalam batubara adalah siderite, ankerite, calcite dan dolomite. Fe dalam mineral sulfida pyrite dan marcasite dan Pb dalam mineral galena (PbS), Zn dalam sfalerite (ZnS) dan As dalam arsenopyrite (FeAsS2).
d. Belerang Total (Total Sulphur).
Belerang (sulfur) berada dalam tiga bentuk utama yaitu a) pyritic sulfur (FeS2) yang berasosiasi dengan mineral matter atau abu yang berasal dari luar (extraneous/adventitious mineral matter), seperti slate, shale, claystone dan sandstone, b) organic sulfur yang terikat secara kimia dalam zat batubara, dan c) sulphates, terutama dengan Ca dan Fe. Metode pokok untuk penentuan kadar Total Sulfur (TS) dari suatu batubara adalah metode Escha dimana suatu contoh dicampur dengan MgCO3 yang telah dikalsinasi diabukan, sulfur yang dibebaskan membentuk MgSO3 yang kemudian diekstrak dengan asam atau alkali dan TS ditentukan dengan titrasi. Ada berbagai metode penentuan bentuk-bentuk belerang yang ada dalam suatu contoh batubara dan kebanyakan melibatkan penaksiran/estimasi kadar pyritic dan sulfate dan perhitungan organic sulfur sebagai perbedaannya (by difference).
2. Pengujian batubara
a. Nilai Kalori (Calorific Value = CV) suatu batubara dapat dianggap sebagai jumlah panas pembakaran dari bahan yang dapat terbakar yaitu C, H dan S dikurangi panas penguraian bahan karbonan  dan plus minus reaksi endothermic atau exothermic yang terjadi di dalam pengotor. Karena itu, CV diukur dengan membakar suatu contoh batubara yang telah kering udara (air dried) dalam bomb calorimeter standar dalam O2 berlebih dan perhitungan panas total yang dibebaskan setelah sistem tersebut kembali lagi dekat ke suhu sekitarnya (ambient temperatures). Jadi nilai yang diukur adalah nilai kalori kotor (gross CV) pada volume konstan.
Ada 2(dua) penentuan CV : the higher (or gross) heating value (HHV) diasumsi bahwa uap air dalam produk pembakaran mengembun (kondensasi) dan karenanya termasuk panas latent penguapan uap air tersebut dalam produk pembakaran, sedangkan the lower heating value (LHV) tidak. Dengan kata lain, HHV (= gross calorific value) menggambarkan panas total yang tersedia ketika diukur dengan metode standar apabila semua produk pembakaran dikembalikan ke suhu ambient, sedangkan LHV (=net calorific value) adalah panas berguna yang tersedia dari suatu batubara dan dihitung dari HHV dengan pengurangan kehilangan panas tertentu seperti panas-panas sensibel dan laten dari produk pembakaran.
Walaupun CV diperoleh dengan pengujian dalam bomb calorimeter, tetapi ASTM D – 407 merekomendasikan formula untuk penentuan net calorific value (= LHV) sebagai berikut :
            Net CV (LHV) = Gross CV (HHV) - 0,024 (9{H} + M) ,  MJ/kg,
Keterangan : HHV       = gross CV pada volume konstan,
                      LHV       = net CV pada tekanan konstan,
                      H            = kadar hidrogen dalam batubara, tidak termasuk kadar air- lembab (=M), dan
                       M          = kadar air-lembab total (% TM) dalam batubara.
                                  1 MJ/kg  =  239 kcal/kg = 430 Btu/lb.
            Karena salah satu karakteristik yang sangat penting dari suatu bahan bakar adalah nilai kalori-nya yaitu banyak/jumlah energi per kg yang dihasilkannya bila dibakar, maka  dalam praktek demi rujukan cepat, data analisa proksimat juga dapat digunakan untuk menghitung nilai kalori bahan bakar tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Gross (or higher) CV (= HCV) = 20,0 x (1 – A – M), MJ/kg, dimana A = kadar abu (A) dan M = kadar air-lembab (M).
Lower (or net) CV (= LCV) = 18,7 x (1 – A – M) – 2,5 x M, MJ/kg.
Sebagai ilustrasi aplikasi rumus-rumus ini sebagai berikut :
Suatu tipe biomass dengan M = 15 % dan A = 20 % akan mempunyai nilai kalori (CV) sesuai dengan rumus-rumus di atas :
HCV = 20,0 x (1 – 0,2 – 0,15) = 13,0 MJ/kg
LCV = 18,7 x (1 – 0,2 – 0,15) – 2,5 x 0,15 = 11,8 MJ/kg
b.  Analisa Abu  yang meliputi unsur-unsur utama (major elements) : Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K, Ti, S, P (SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO, MgO, CaO, Na2O, K2O, TiO2, SO3, P2O3). Selain unsur-unsur utama ini, batubara juga mengandung unsur-unsur runutan dan tanah jarang (trace and rare elements) dengan kadar totalnya kurang dari 0,02 % dimana kadar dari masing-masing unsur runutannya sangat rendah  (dalam ppm) . Dari pandangan biologi, logam-logam dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu logam ringan (Na, K, Ca), logam peralihan/transisi (Fe, Cu, Co, Mn) dan logam-logam berat (heavy metals)(Hg, Pb, Sr, Sn, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Se, U, V, Be, Tl) dan unsur-unsur minor lainnya, seperti Cl dan F yang bersifat racun dan berbahaya terhadap lingkungan.
      Karakteristik abu batubara dinyatakan oleh komposisi abu, titik leleh abu, tipe abu serta indeks slagging dan indeks fouling.
      Dari komposisi unsur-unsur utama, abu batubara dapat dikarakterisasikan menurut tipenya yaitu bituminous dan lignitic, dan sifat keasaman dan kebasaannya. Tipe abu yang bersifat bituminous adalah yang mempunyai rasio Fe2O3/MgO + CaO lebih besar dari 1. Sedangkan tipe abu lignitic mempunyai nisbah (rasio) Fe2O3/CaO + MgO kurang dari 1.
      Keasaman abu ditentukan oleh rasio basa/asam sebagai berikut :
  Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O + K2O
 
     
SiO2 + Al2O3 + TiO2
 
Rasio basa/asam =
           
Rasio basa asam digunakan sebaga petunjuk kecenderungan abu membentuk titik leleh eutetik rendah dimana titik eutetik terbentuk pada nisbah 0,75 dan tipe abu bituminus kebanyakan lebih rendah dari nilai nisbah tersebut. Abu yang bersifat asam adalah abu yang mempunyai rasio basa/asam kurang dari 0,6.
Sedangkan indeks slagging atau slagging factor (Rs) = rasio basa/asam x % S dimana kadar belerang menunjukkan jumlah besi piritik dalam bahan mineral yang mempengaruhi derajat oksidasi besi slag sehingga mempengaruhi kisaran plastisnya. Disamping itu, fouling factor (Rf) = ratio basa/asam x % Na2O yang digunakan untuk memperkirakan kecenderungan partikel-partikel abu melekat pada pipa superheater akibat dari kondensasi senyawa uap natrium pada permukaan abu. Penggolongan tipe slagging dan tipe fouling dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggolongan tipe slagging dan tipe fouling
Rs Tipe Abu Bituminus
Rs Tipe Abu Lignitic
Tipe Slagging
Rf
Tipe Fouling
< 0,6
0,6 – 2,0
2,0 – 2,6
> 2,6
> 1340oC
1340 – 1250oC
1250 – 1150oC
< 1150oC
rendah
sedang
tinggi
sangat tinggi
< 0,2
0,2 – 0,5
0,5 – 1,0
> 1,0
rendah
sedang
tinggi
sangat tinggi
c. Suhu Leleh Abu. Pengujian titik leleh abu meliputi suhu deformasi awal (Initial Deformation = ID), suhu pelunakan/sferis (softening = ST), suhu setengah bulat /hemisfer (Hemispherical = HT), dan suhu pelelehan/flow (Fluid = FT) dari abu batubara yang diukur di bawah kondisi baik oksidasi maupun reduksi (oxidizing and reducing conditions) dengan memanaskan suatu contoh abu yang dicetak menjadi kerucut (cone) standar sambil mengamati perubahan profil kerucut tersebut sehingga dapat menguraikan pada suhu berapa terjadinya karakteristik pelunakan dan pelelehan abu (ID, ST, HT, dan FT). Suhu leleh abu batubara sangat penting dalam desain maupun pengoperasian boiler.  Suhu awal (ID) dan ST dikaitkan dengan perpindahan panas dan suhu gas buang karena itu harus ada batasan terhadap suhu gas buang yang memasuki bagian superheater yaitu harus lebih lebih rendah dari suhu ID untuk menghindari pembentukan endapan (deposit) pada pipa superheater.
d. Indek Ketergerusan Hardgrove (Hardgrove Grindability Hardgrove = HGI).
            Ketergerusan batubara merupakan sifat mekanik sebagai suatu faktor penting dalam pemilihan batubara untuk PLTU-B, dan juga untuk pemilihan dan penentuan ukuran penggiling.
Ketergerusan batubara (coal grindability) adalah ukuran kemudahan batubara untuk digerus sampai kehalusan tertentu yang akan digunakan sebagai bahan bakar serbuk halus (pulverized coal). Ada 2 (dua) metode pengujian ketergerusan batubara yaitu Hardgrove test dan Ball Mill test. Dari kedua metode ini, indek Hardgrove (Hardgrove Index = HGI) adalah metode yang sangat umum untuk menggambarkan suatu ketergerusan batubara. HGI berkisar dari 20 sampai lebih besar dari 110 dengan kriteria bahwa semakin tinggi HGI menggambarkan semakin mudah batubara digerus/digiling.
      Karena hampir 85,4 % dari potensi sumberdaya batubara Indonesia sekitar 57,85 milyar ton (2003) adalah batubara peringkat rendah (Low rank Coal = LRC)(dari lignit melalui bituminus dan subbituminus sampai anthrasit) disamping persyaratan kehalusan yang bervariasi dari suatu tipe batubara ke tipe yang lain (semakin tinggi FC, semakin halus ukuran batubara), maka beberapa faktor yang mempengaruhi ketergerusan seperti peringkat dan bahan pengotor baik air-lembab maupun abu dapat diuraikan sebagai berikut.
      Sebagai gambaran tentang karakteristik batubara Indonesia yaitu sebagai berikut : Ada 2 (dua) tipe batubara dengan peringkat yang berbeda diteliti yaitu lignit dan subbituninus dimana kedua peringkat batubara ini digolongkan ke dalam batubara peringkat rendah (Low Rank Coal = LRC). Oleh sebab itu, unit PLTU-B harus dirancang  dengan batubara LRC dalam rangka menjamin pasokan kebutuhan PLTU-B sesuai dengan umur rancangan PLTU-B yang direncanakan.
      Ada hubungan antara ketergerusan batubara dan peringkatnya yaitu bahwa ketergerusan meningkat sejalan dengan peningkatan peringkat yang diwakili oleh kadar zat-terbang (VM)(Gambar 2) dimana batubara LRC menunjukkan kenaikan yang lambat atau tidak terlalu berarti sama dari lignit ke subbituminus. Sedangkan dipandang dari kadar bahan-bahan pengotor (impurities) seperti air-lembab dan abu, ketergerusan juga dipengaruhi oleh kedua bahan pengotor tersebut dimana peningkatan kadar air-lembab dan kadar abu menyebabkan semakin sulit digerus.  Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa HGI akan menaik dengan menaiknya kadar Total Moisture (TM) secara non-linear sampai mencapai titik maksimum yang selanjutnya terus cenderung menurun. 
cara meningkatkat kalori batubara silahkan hubungi disini:
Untuk info lebih lanjut silahkan hub :08128824181
email;industriindonesiajaya@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar