KARAKTERISASI KUALITAS BATUBARA
Batubara mempunyai karakteristik masing2 tergantung geografi,ada yang cenderung basah seperti kebanyakan pertambangan di sumatra ada juga yang kering seperti dikalimantan ,Ketentuan-ketentuan (clauses)
yang paling sering dimasukkan dalam kontrak penjualan batubara (coal sales contract) secara
internasional meliputi sebagai berikut :
-
jenis batubara (coal brand),
-
spesifikasi batubara (coal
specification),
-
masa kontrak (contract
period),
-
jadwal pemasokan jumlah tonase
batubara (tonnage supply schedule),
-
harga dasar (basic price),
-
kenaikan harga (escalation),
-
hadiah/denda (bonus/penalty),
-
pembayaran (payment),
-
fluktuasi mata uang dan nilai
tukar (currency and exchange fluctuations),
-
pengambilan contoh dan analisa
(sampling and analysis),
-
penentuan berat (weight
determination),
-
harta milik dan resiko (property
and risk),
-
peraturan dan
pembatasan/larangan dari pemerintah (governmental restrictions and
regulations),
-
tak terduga (force majeure),
-
peleraian (arbitration),
-
kesukaran/penderitaan (hardship)
karena ada kecurangan terhadap salah satu pihak,
-
persyaratan pelabuhan untuk
pemuatan dan pengapalan untuk penjualan berdasarkan F.O.B.T (shipping and loading
port conditions); dan atau persyaratan pelabuhan untuk pembongkaran (discharge
port conditions) untuk penjualan menurut C&F,
-
telegram untuk berlayar (sailing
cable).
Dari daftar urutan ketentuan diatas, karakteristik kualitas atau
spesifikasi batubara, merupakan urutan pertama yang harus dipenuhi terlebih
dahulu dimana karakterisasi kualitas batubara dilakukan dengan analisa dan
pengujian batubara. Karena pasokan batubara sebagai sumber energi panas memainkan
peranan yang sangat penting sekarang ini, terutama untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Uap dengan bahan bakar Batubara (PLTU-B), maka spesikasi batubara biasanya
ditentukan dengan analisa kimia dan pengujian yang meliputi parameter-parameter
antara lain sebagai berikut :
- Total Moisture (TM), % a.r
- Analisa Proksimat yang terdiri dari komponen-komponen :
Air-lembab bawaan (Inherent Moisture = IM), Abu (Ash = A), Zat-terbang
(Volatile Matter = VM), dan Karbon-tertambat (Fixed Carbon = FC).
- Analisa Ultimat yang terdiri dari unsur-unsur utama : C,
H, O, N, S.
- Belerang Total (Total Sulphur).
- Nilai Kalori (Calorific
Value = CV).
- Kadar dan Analisa Komposisi Kimia Abu
- Suhu Leleh Abu
- Indek Ketergerusan Hardgrove (Hardgrove Grindability Hardgrove = HGI).
- Pengayakan (screening).
http://industriindonesia.com/
1. Analisa batubara
a. Analisa Proksimat
Metode dasar untuk analisa proksimat
diberikan oleh Standar ASTM D 3172 yang dapat diuraikan secara ringkas sebagai
berikut :
Mengingat akan fakta bahwa batubara adalah suatu campuran heterogen dari
senyawa-senyawa organik berupa senyawa organik ringan (zat-terbang = Volatile Matter = VM)(yang terdiri dari
gas-gas dan uap yang dikeluarkan apabila batubara dipanaskan tanpa kontak
dengan oksigen dari udara sampai suhu tertentu (900 + 25oC)
selama
7 menit dan bahan organik tidak terbang (non-volatile)(karbon-tertambat
= fixed carbon = FC)(residu karbon
padatan yang terbakar pada suhu yang lebih tinggi setelah VM
dikeluarkan) bersama
dengan sejumlah tertentu bahan anorganik sebagai pengotor
(impurities/diluents) berupa air yang disebut air-lembab (moisture = M)
yang ditentukan pada suhu
105 + 5oC dan mineral yang disebut abu (ash =
A){(berupa bahan tidak reaktif lagi (inert material) yang dihasilkan
apabila batubara dibakar sempurna)}pada
suhu 800 oC. Karena itu, ke-empat komponen pembentuk batubara ini (%
IM + % A + % VM + % FC = 100%) dapat ditentukan dengan analisa proksimat dimana
VM dan FC adalah komponen/bahan aktif yang menghasilkan energi panas apabila
batubara dibakar, sedangkan M dan A adalah komponen yang tidak reaktif yang
merintangi proses emisi energi panas apabila batubara dibakar.
b. Total Moisture (TM).
Kadar TM ditentukan pada kondisi seperti diterima (as received) yang merupakan parameter yang penting dalam membuat
faktur (invoicing) pengiriman
batubara. Seperti diketahui bahwa air lembab atau lengas (moisture)
dianggap sebagai salah satu pengotor (impurity atau diluent) yang
sama halnya seperti abu (ash) dalam batubara yaitu merupakan komponen-komponen pembentuk
batubara yang tidak dapat terbakar (being incombustible) sehingga dapat
menurunkan nilai komersialnya berupa parameter nilai kalori (calorific value
= CV). Karena itu,
pengaruhnya terhadap kualitas batubara harus dikontrol secara ketat supaya
dapat dijual (saleable coal) sebagai akibat dari kadarnya yang telah
memenuhi persyaratan atau spesifikasi batubara yang diminta oleh pasar atau
konsumer. Kadar Total Moisture
(Lengas Total)(=TM) batubara yang merupakan jumlah dari kadar lengas bebas (unbound
surface or free moisture = FM) dan kadar lengas bawaan (inherent
moisture = IM) selalu
dilaporkan dalam kondisi seperti diterima (as received = ar). Dengan
kata lain, TM = IM + FM. Contoh batubara biasanya diambil sejak
dari tahap eksplorasi batubara, tahap penambangan dan tahap pengolahan sampai ke
tahap penimbunan (stockpiling) sebelum dikirim ke tempat konsumer/pasar.
Dalam hal ini, karena lengas bawaan
(IM) yang tidak sensitif terhadap atmosfir dapat dianggap konstan (tetap atau
tidak berubah), maka yang dapat berubah-rubah adalah hanya lengas bebas (FM)
yang kadarnya tergantung pada :
-. berbagai kondisi pembasahan (wetting)
karena adanya penyerapan air (absorption) dan pengeringan air (drying)
(desorption) yang disebabkan oleh iklim atau cuaca lokal yang terjadi
selama batubara tersebut tersingkap/terbuka (exposed) dengan udara
terbuka (atmosfir) selama penambangan (mining), pengolahan (beneficiation),
pengangkutan (transportation), penanganan (handling), atau
penimbunan/penyimpanan (stockpiling/storage).
-. distribusi ukuran partikel/fragment batubara
dimana batubara halus (fine coal) dapat menyerap dan menahan lebih
banyak air dari pada batubara bongkah (lump coal).
c. Analisa Ultimat
Karena batubara dikomposisikan oleh campuran komplek dari komponen bahan
organik yang berasal dari sisa tumbuh-tumbuhan pembentuk batubara yang diwakili
oleh kayu (wood)(Gambar 1) dan
komponen bahan anorganik yang ditemui sebagai kation-kation dan mineral, maka analisa
ultimat (ASTM D 3176) digunakan untuk menentukan komponen organik berupa
senyawa kimia yaitu C, H, O, N, S. Disamping itu, komponen bahan anorganik,
yang sebagian besar terdiri dari mineral dan berubah menjadi abu sisa
pembakaran batubara yang terdiri dari unsur utama (major elements), seperti Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K, Ti, Sr dan
unsur-unsur anorganik dengan kadar yang sangat rendah yakni sekitar kurang dari
0,02 % yang disebut unsur runutan (trace
elements), seperti As, Sb, Hg, Cd, Zn, Se, U, V, Pb, Be dan Tl.
Gambar 1. Skema proses pembentukan
batubara
Mineral-mineral utama dalam batubara
(major coal minerals) diklasifikasikan
sebagai : tanah liat (clays),
korbonat (carbonates), sulfida (sulfides), oksida (oxides), klorida (chlorides),
dan sulfat (sulfates). Lapisan tanah
liat berupa campuran dari kaolinite, illite, montmorillonite, dan
illite-montmorillonite adalah mineral-mineral tanah liat yang dominan. Karbonat
utama yang ada dalam batubara adalah siderite, ankerite, calcite dan dolomite. Fe
dalam mineral sulfida pyrite dan marcasite dan Pb dalam mineral galena (PbS),
Zn dalam sfalerite (ZnS) dan As dalam arsenopyrite (FeAsS2).
d. Belerang Total
(Total Sulphur).
Belerang (sulfur) berada dalam tiga bentuk utama yaitu a) pyritic sulfur
(FeS2) yang berasosiasi dengan mineral matter atau abu yang berasal
dari luar (extraneous/adventitious mineral
matter), seperti slate, shale, claystone dan sandstone, b) organic sulfur
yang terikat secara kimia dalam zat batubara, dan c) sulphates, terutama dengan
Ca dan Fe. Metode pokok untuk penentuan kadar Total
Sulfur (TS) dari suatu batubara adalah metode Escha dimana suatu contoh dicampur
dengan MgCO3 yang telah dikalsinasi diabukan, sulfur yang dibebaskan
membentuk MgSO3 yang kemudian diekstrak dengan asam atau alkali dan
TS ditentukan dengan titrasi. Ada
berbagai metode penentuan bentuk-bentuk belerang yang ada dalam suatu contoh
batubara dan kebanyakan melibatkan penaksiran/estimasi kadar pyritic dan
sulfate dan perhitungan organic sulfur sebagai perbedaannya (by difference).
2. Pengujian
batubara
a. Nilai
Kalori (Calorific Value = CV) suatu
batubara dapat dianggap sebagai jumlah panas pembakaran dari bahan yang dapat
terbakar yaitu C, H dan S dikurangi panas penguraian bahan karbonan dan plus minus reaksi endothermic atau exothermic
yang terjadi di dalam pengotor. Karena itu, CV diukur dengan membakar suatu
contoh batubara yang telah kering udara (air
dried) dalam bomb calorimeter
standar dalam O2 berlebih dan perhitungan panas total yang
dibebaskan setelah sistem tersebut kembali lagi dekat ke suhu sekitarnya (ambient temperatures). Jadi nilai yang diukur adalah nilai kalori
kotor (gross CV) pada volume konstan.
Ada 2(dua) penentuan CV : the higher (or gross) heating value (HHV) diasumsi bahwa uap
air dalam produk pembakaran mengembun (kondensasi) dan karenanya termasuk panas
latent penguapan uap air tersebut dalam produk pembakaran, sedangkan the lower heating value (LHV) tidak. Dengan
kata lain, HHV (= gross calorific value)
menggambarkan panas total yang tersedia ketika diukur dengan metode standar
apabila semua produk pembakaran dikembalikan ke suhu ambient, sedangkan LHV (=net calorific value) adalah panas
berguna yang tersedia dari suatu batubara dan dihitung dari HHV dengan
pengurangan kehilangan panas tertentu seperti panas-panas sensibel dan laten
dari produk pembakaran.
Walaupun CV diperoleh dengan pengujian dalam bomb calorimeter, tetapi ASTM D – 407
merekomendasikan formula untuk penentuan net
calorific value (= LHV) sebagai berikut :
Net CV (LHV)
= Gross CV (HHV) - 0,024 (9{H} + M) ,
MJ/kg,
Keterangan
: HHV = gross CV pada volume
konstan,
LHV = net CV pada tekanan konstan,
H = kadar hidrogen dalam batubara, tidak
termasuk kadar air- lembab (=M), dan
M = kadar air-lembab total (% TM) dalam
batubara.
1 MJ/kg = 239
kcal/kg = 430 Btu/lb.
Karena salah satu karakteristik yang
sangat penting dari suatu bahan bakar adalah nilai kalori-nya yaitu
banyak/jumlah energi per kg yang dihasilkannya bila dibakar, maka dalam praktek demi rujukan cepat, data
analisa proksimat juga dapat digunakan untuk menghitung nilai kalori bahan
bakar tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Gross (or higher)
CV (= HCV) = 20,0 x (1 – A – M), MJ/kg, dimana A = kadar abu (A) dan M = kadar
air-lembab (M).
Lower (or net) CV (= LCV) = 18,7 x (1 – A –
M) – 2,5 x M, MJ/kg.
Sebagai ilustrasi
aplikasi rumus-rumus ini sebagai berikut :
Suatu tipe biomass
dengan M = 15 % dan A = 20 % akan mempunyai nilai kalori (CV) sesuai dengan
rumus-rumus di atas :
HCV = 20,0 x (1 –
0,2 – 0,15) = 13,0 MJ/kg
LCV = 18,7 x (1 –
0,2 – 0,15) – 2,5 x 0,15 = 11,8 MJ/kg
b. Analisa
Abu yang meliputi unsur-unsur utama (major elements) : Si, Al, Fe, Ca, Mg,
Na, K, Ti, S, P (SiO2, Al2O3, Fe2O3,
CaO, MgO, CaO, Na2O, K2O, TiO2, SO3, P2O3).
Selain unsur-unsur utama ini, batubara juga mengandung unsur-unsur runutan dan
tanah jarang (trace and rare elements)
dengan kadar totalnya kurang dari 0,02 % dimana kadar dari masing-masing unsur
runutannya sangat rendah (dalam ppm) .
Dari pandangan biologi, logam-logam dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu
logam ringan (Na, K, Ca), logam peralihan/transisi (Fe, Cu, Co, Mn) dan
logam-logam berat (heavy metals)(Hg,
Pb, Sr, Sn, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Se, U, V, Be, Tl) dan unsur-unsur minor
lainnya, seperti Cl dan F yang bersifat racun dan berbahaya terhadap
lingkungan.
Karakteristik
abu batubara dinyatakan oleh komposisi abu, titik leleh abu, tipe abu serta
indeks slagging dan indeks fouling.
Dari
komposisi unsur-unsur utama, abu batubara dapat dikarakterisasikan menurut
tipenya yaitu bituminous dan lignitic, dan sifat keasaman dan
kebasaannya. Tipe abu yang bersifat bituminous adalah yang mempunyai rasio Fe2O3/MgO
+ CaO lebih besar dari 1. Sedangkan tipe abu lignitic mempunyai nisbah (rasio)
Fe2O3/CaO + MgO kurang dari 1.
Keasaman
abu ditentukan oleh rasio basa/asam sebagai berikut :
Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O + K2O
|
|
Rasio basa/asam =
Rasio basa asam digunakan sebaga petunjuk kecenderungan abu membentuk titik
leleh eutetik rendah dimana titik eutetik terbentuk pada nisbah 0,75 dan tipe
abu bituminus kebanyakan lebih rendah dari nilai nisbah tersebut. Abu yang
bersifat asam adalah abu yang mempunyai rasio basa/asam kurang dari 0,6.
Sedangkan indeks slagging atau slagging factor (Rs) = rasio basa/asam x % S
dimana kadar belerang menunjukkan jumlah besi piritik dalam bahan mineral yang
mempengaruhi derajat oksidasi besi slag sehingga mempengaruhi kisaran
plastisnya. Disamping itu, fouling factor (Rf) = ratio basa/asam x % Na2O
yang digunakan untuk memperkirakan kecenderungan partikel-partikel abu melekat
pada pipa superheater akibat dari kondensasi senyawa uap natrium pada permukaan
abu. Penggolongan tipe slagging dan tipe fouling dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Penggolongan tipe slagging dan tipe fouling
Rs Tipe Abu Bituminus
|
Rs Tipe Abu Lignitic
|
Tipe Slagging
|
Rf
|
Tipe Fouling
|
< 0,6
0,6 – 2,0
2,0 – 2,6
> 2,6
|
> 1340oC
1340 – 1250oC
1250 – 1150oC
< 1150oC
|
rendah
sedang
tinggi
sangat tinggi
|
< 0,2
0,2 – 0,5
0,5 – 1,0
> 1,0
|
rendah
sedang
tinggi
sangat tinggi
|
c. Suhu Leleh Abu.
Pengujian titik leleh abu
meliputi suhu deformasi awal (Initial
Deformation = ID), suhu pelunakan/sferis (softening = ST), suhu setengah
bulat /hemisfer (Hemispherical = HT), dan suhu pelelehan/flow
(Fluid = FT) dari abu batubara yang
diukur di bawah kondisi baik oksidasi maupun reduksi (oxidizing and
reducing conditions) dengan memanaskan suatu contoh
abu yang dicetak menjadi kerucut (cone)
standar sambil mengamati perubahan profil kerucut tersebut sehingga
dapat
menguraikan pada suhu berapa terjadinya karakteristik pelunakan dan
pelelehan
abu (ID, ST, HT, dan FT). Suhu leleh abu batubara sangat penting dalam
desain
maupun pengoperasian boiler. Suhu awal
(ID) dan ST dikaitkan dengan perpindahan panas dan suhu gas buang karena itu
harus ada batasan terhadap suhu gas buang yang memasuki bagian superheater
yaitu harus lebih lebih rendah dari suhu ID untuk menghindari pembentukan
endapan (deposit) pada pipa
superheater.
d. Indek
Ketergerusan Hardgrove (Hardgrove
Grindability Hardgrove = HGI).
Ketergerusan batubara merupakan sifat
mekanik sebagai suatu faktor penting dalam pemilihan batubara untuk PLTU-B, dan
juga untuk pemilihan dan penentuan ukuran penggiling.
Ketergerusan
batubara (coal grindability) adalah
ukuran kemudahan batubara untuk digerus sampai kehalusan tertentu yang akan
digunakan sebagai bahan bakar serbuk halus (pulverized
coal). Ada 2 (dua) metode pengujian ketergerusan batubara yaitu Hardgrove
test dan Ball Mill test. Dari kedua metode ini, indek Hardgrove (Hardgrove Index = HGI) adalah metode
yang sangat umum untuk menggambarkan suatu ketergerusan batubara. HGI berkisar
dari 20 sampai lebih besar dari 110 dengan kriteria bahwa semakin tinggi HGI
menggambarkan semakin mudah batubara digerus/digiling.
Karena hampir 85,4 % dari potensi
sumberdaya batubara Indonesia sekitar 57,85 milyar ton (2003) adalah batubara
peringkat rendah (Low rank Coal =
LRC)(dari lignit melalui bituminus dan subbituminus sampai anthrasit) disamping
persyaratan kehalusan yang bervariasi dari suatu tipe batubara ke tipe yang
lain (semakin tinggi FC, semakin halus ukuran batubara), maka beberapa faktor yang
mempengaruhi ketergerusan seperti peringkat dan bahan pengotor baik air-lembab
maupun abu dapat diuraikan sebagai berikut.
Sebagai gambaran tentang karakteristik
batubara Indonesia yaitu sebagai berikut : Ada 2 (dua) tipe batubara dengan
peringkat yang berbeda diteliti yaitu lignit dan subbituninus dimana kedua
peringkat batubara ini digolongkan ke dalam batubara peringkat rendah (Low
Rank Coal = LRC). Oleh sebab itu, unit PLTU-B harus dirancang dengan batubara LRC dalam rangka menjamin
pasokan kebutuhan PLTU-B sesuai dengan umur rancangan PLTU-B yang direncanakan.
Ada hubungan antara ketergerusan batubara
dan peringkatnya yaitu bahwa ketergerusan meningkat sejalan dengan peningkatan
peringkat yang diwakili oleh kadar zat-terbang (VM)(Gambar 2) dimana batubara
LRC menunjukkan kenaikan yang lambat atau tidak terlalu berarti sama dari
lignit ke subbituminus. Sedangkan dipandang dari kadar bahan-bahan pengotor (impurities) seperti air-lembab dan abu,
ketergerusan juga dipengaruhi oleh kedua bahan pengotor tersebut dimana peningkatan
kadar air-lembab dan kadar abu menyebabkan semakin sulit digerus. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa HGI
akan menaik dengan menaiknya kadar Total Moisture (TM) secara non-linear sampai
mencapai titik maksimum yang selanjutnya terus cenderung menurun.
cara meningkatkat kalori batubara silahkan hubungi disini:
Untuk info lebih lanjut silahkan hub :08128824181
email;industriindonesiajaya@gmail.com